Raga Kogeya: “Pengungsi Nduga Masih Diabaikan Oleh Pemerintah Indonesia”
Raga kogeya |
Oleh: Yefta Lengka
Konteks Sosial - Raga Kogeya adalah sala satu tim relawan untuk para pengungsi Nduga sejak tahun 2018 hingga kini. Ia memiliki komitmen yang kuat bahwa tim relawan tersebut akan bubar atau usai jika konflik bersenjata antara TNI POLRI dan TPNPB di Nduga, Intan Jaya dan beberapa wilayah konflik di tanah Papua berakhir
Kondisi pengungsi Nduga di tanah Papua.
Ketika terjadi perang antara TNI-POLRI dan TPNPB, masyarakat sipil tinggalkan segala harta benda saat mengungsi. Terutama ternak (babi) mereka, bagi orang Papua (pegunungan) babi adalah harta yang berharga. Pada 2018 bulan desember sekitar tanggal 3-5 mulai terjadi serangan darat dan udara di Nduga. Saat itu mereka melarikan diri dan hidup di hutan, belantara, goa dan lainnya. Tetapi hingga kini mereka telah berada di beberapa kabupaten yang bisa ditempati oleh para pengungsi tersebut diantaranya adalah .Jayawijaya, Lanny Jaya, Jayapura, Timika Nabire, Intan Jaya, Puncak, Asmat, Merauke, Sorong dan lainnya. Mereka semua tersisipi dimana keluarga mereka berada.
Tanggapan pemerintah terhadap akses bagi para pengungsi.
Akses pendidikan
Hingga tanggal empat Desember 2023 ini, kami suda memasuki tahun ke enam selama berada di pengungsian. Pemerintah masih mengabaikan nasib pengungsi Nduga di tanah Papua. Kami pernah membuka sekolah darurat di Kabupaten Jayawijaya Wamena dan sekolah itu berjalan selama satu tahun enam bulan. Pada bulan ke tujuh sekolah tersebut dibubarkan dan ditutup paksa oleh TNI-POLRI. Dandim 1702 Jayawijaya mengkonfirmasi bahwa pembuatan sekolah darurat tersebut sangat memalukan dengan alasan harga diri negara. Sehingga ia menekan pemerintah kabupaten Nduga agar sekolah darurat tersebut ditutup. Dalam situasi itu pernah terjadi perdebatan antara tim relawan dan pemerintah kabupaten Nduga, tetapi pemerintah terus memaksa kehendaknya dengan kekuatan militer, pada akhirnya tim relawan harus menyerah demi meminimalisir terjadinya konflik. Hingga hari ini anak-anak pengungsi tersebut menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang ada di kabupaten jayawijaya, meski jarak berkilo-kilo dan biayanya sekolah dan biaya hidupnya susah. Pemerintah seharusnya menyediakan ruang baca (belajar) khusus untuk anak-anak Nduga. Karena setelah ditutupnya akses pendidikan, banyak anak-anak usia sekolah yang hidup di jalanan tutup-tutup karton di kendaraan bermotor. Ini situasi yang memalukan n dan mematikan bagi nasib generasi Nduga.
Akses kesehatan.
Pengungsi asal Nduga yang tersebar di Papua berjumlah 42 titik. Sampai dengan hari ini pengungsi Nduga banyak yang meninggal dunia. Meninggal di hutan, di camp pengungsian dan di keluarga mereka. Beberapa faktor diantaranya adalah administrasi, Bahasa, akses dan biaya. Bahkan yang lebih serius adalah trauma dan stigma terhadap warga Nduga sebagai anggota TPNPB-OPM. Kami selalu bersuara melalui media agar ada kerja sama memerintah Nduga dan Jayawijaya untuk memenuhi akses kesehatan para pengungsi. Kami minta supaya setiap titik ada pos pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah. Tetapi sampai saat ini belum ada. Sekarang baru ada kontrak kerja sama antara Pemerintah Nduga dan Pemerintah Jayawijaya. Sehingga warga Nduga yang ada di Jayawijaya bisa berobat secara gratis di fasilitas kesehatan RSUD Wamena. Itupun masih kurang karena banyak titik yang belum tersedia pos pelayanan kesehatan.
Akses bagi penyandang disabilitas
Selama ini kami belum tahu bahwasannya para penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan bantuan dari pemerintah. Selama ini kami berpikir bahwa para penyandang disabilitas ini adalah bagian dari diri kami. Dan kami tida bisa terlepas dari mereka. Banyak para penyandang disabilitas yang ada di wilayah pengungsian. Diantaranya ada yang tidak bisa mendengar, masalah penglihatan, tangan terputus, kaki terputus dan lain sebagainya. Kebanyakan dari mereka mengalami disabilitas akibat terjadinya konflik antara TPNPB-OPM dan TNI-POLRI di Nduga. Ada yang mengalaminya di pengungsian, ada yang kena tembakan saat terjadi aksi tembak menembak antara TNI-POLRI dan TPNPB-OPM di Nduga. Hingga hari ini mereka tidak memiliki akses untuk berobat, termasuk biaya dan lainnya. Karena ada sebagian penyandang disabilitas yang adalah kepala keluarga dan ada juga yang ibu rumah tangga.
Harapan
Harapannya adalah warga Nduga harus kembali ke kampung halaman mereka, dengan syarat:
Pertama: Negara Indonesia harus tarik kembali militer Indonesia yang ada di kampung halaman mereka. Karena militer Indonesia menganggap bahwa dimana masyarakat Nduga berada disana juga ada TPNPB-OPM berada, dengan demikian masyarakat sipil selalu menjadi korban.
Kedua: Negara Indonesia harus membuka diri untuk melakukan dialog yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang disepakati dengan Orang Papua, agar konflik bersenjata berakhir dan para pengungsi bisa pulang kembali ke kampung halaman mereka.
Ketiga: kepada kepala perwakilan PBB di Indonesia agar bisa memberikan teguran dan masukan kepada negara Indonesia agar konflik yang sedang terjadi di tanah Papua khusunya di Nduga harus dihentikan. Dan negara harus bertanggung jawab memberikan bantuan bencana kemanusiaan kepada para pengungsi Nduga seperti akses Air bersih, akses pendidikan, akses kesehatan dan akses lainnya. Termasuk bagi penyandang disabilitas Korban konflik bersenjata Antara TPN-PB dan TNI-POLRI. Sama seperti pemerintah memberi bantuan bencana alam di beberapa wilayah di tanah Papua.
Belum ada Komentar
Posting Komentar