15 AGUSTUS, NASIB PAPUA DITENTUKAN BELANDA, INDONESIA, AMERIKA DI AMERIKA
NEW YORK AGREEM
EN Ada apa dengan tanggal 15 agustus sehingga dikatakan penting? Pada tanggal 15 Agustus 1962 terjadi Peristiwa penting bagi rakyat dan tanah Papua yang sama sekali tidak melibatkan satupun orang Papua. Peristiwa tersebut adalah PERJANJIAN NEW YORK (New York Agreement).
Perundingan ini berlangsung antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda serta Amerika Serikat selaku penengah, perjanjian ini sendiri dilaksanakan di New York, Amerika Serikat. Perjanjian ini dilakukan oleh Dr. Subandrio mewakili Pihak Indonesia dan pemerintah Belanda yang diwakili oleh Mr. J.H.Van Roijen dan MR.C.Schurmann serta Amerika Serikat melalui diplomatnya Ellsworth Bunke yang bertindak sebagai penengah.
Inti dari
perundingan yang menghasilkan perjanjian New York ini adalah bahwa Belanda
harus menyerahkan Irian Barat (Papua) kepada Indonesia selambat-lambatnya 1 Mei
1963. Selama proses pengalihan, wilayah sengketa (Papua) tersebut untuk
sementara waktu akan dipegang oleh United Nations Temporary Executive Authority
(UNTEA) yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tanggal 1
Mei 1963, Wilayah Papua bagian barat akhirnya resmi diserahkan kepada Indonesia
dari Belanda melalui mediasi UNTEA, Meskipun terdengar suara-suara yang
mengecam lantaran tidak ada keterlibatan orang-orang asli Papua dalam
perjanjian New York tersebut.
Tindak-lanjut penyerahan itu adalah dilaksanakannya Act of
Free Choice atau Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) Papua selama 6 pekan dari
Juli hingga Agustus 1969 yang menghasilkan integrasi wilayah Irian Barat ke
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Proses dan hasil PEPERA 1969 memang tidak sepenuhnya
disepakati oleh seluruh pihak yang merasa berkepentingan karena ditengarai
telah terjadi kecurangan (Human Rights Watch, Protes dan Hukuman Tahanan
Politik di Papua, 2007:11). Namun, inilah tahap awal peresmian Irian Barat
menjadi bagian dari wilayah NKRI dengan nama Provinsi Irian Jaya saat itu.
SEJARAH YANG DIJARAH
Ada yang
aneh selama ini, khususnya kurikulum pelajaran sejarah di sekolah-sekolah di
Papua dan Papua Barat hampir tidak sama sekali mengajarkan tentang sejarah
Papua, sebagian besar materi pelajaran sejarah adalah tentang kejadian-kejadian
masa lampau di luar Papua yang sama sekali tidak ada hubungannya dan kaitannya
dengan Papua. Lebih banyak belajar tentang kisah kerajaan-kerajaan di Pulau
Jawa, Kalimantan dan Sumatera!
Peristiwa
seperti Perjanjian New York, Masuknya Injil Di Papua, bergabungnya Papua Ke
Indonesia, sejarah Papua, bahkan penemu pulau Papua tidak pernah diajarkan.
Kalau diajarkan itupun hanya kulit-kulitnya saja tidak sampai kepada isinya.
Sebelum perjanjian
New York dilaksanakan pada 1962, setahun sebelumnya tepatnya 19 Desember 1961
Presiden Soekarno sudah mengumandangkan operasi Trikora pada 19 Desember 1961
untuk merebut Irian Barat dari Belanda. Setelah Perjanjian New York Pemerintah
Indonesia juga diwajibkan melaksanakan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat)
dengan sistem one man one vote namun sayang yang terjadi justru sistem
keterwakilan.
Dalam
Perjanjian New York, Indonesia akan menerima kedaulatan atas Papua pada 1 Mei
1963 setelah Otoritas Eksekutif Sementara PBB (UNTEA), pemerintahan peralihan
bentukan PBB, menyelesaikan tugasnya. Selama masa transisi, sebanyak mungkin
orang-orang Papua ditempatkan pada kedudukan-kedudukan administratif dan
teknis. Sedangkan pejabat Belanda atau Indonesia, bila diperlukan, bisa
diperbantukan atas seizin Sekjen PBB.
Disaat euforia yang terjadi di Indonesia, terselip memori
kelam bagi rakyat Papua. Sejak November 1962, orang-orang Indonesia mulai
berdatangan ke Papua. Pasalnya, infiltrasi tentara Indonesia yang dipersiapkan
dalam operasi Trikora sebagian besar telah menjangkau daratan Papua. Menyusul
kemudian pegawai-pegawai eselon bawah, guru, maupun sukarelawan dari Jawa.
Pendatang Indonesia ini kemudian disebut sebagai Kontingen Indonesia
(Kontindo).
“Waktu masih ada UNTEA sebenarnya Indonesia sudah ada.
Mereka sudah mondar-mandir, terutama mereka yang bertindak atas nama korps
diplomatik. Mungkin di luar pengetahuan Belanda, Amerika Serikat, dan PBB,”
ungkap Dolf Faidiban, kepala distrik di Bintuni, dalam Bakti Pamong Praja
Papua: Di Era Transisi Kekuasaan Belanda ke Indonesia suntingan Leontine E.
Visser dan Amapon Jos Marey.
Menurut Pieter J. Drooglever, sejarawan Belanda, masuknya pegawai-pegawai dan tentara Indonesia tidak sesuai rencana. Mereka beroperasi dan menjalankan tugas sebelum waktunya. Dalam perudingan di Middleburg, AS, Juli sebelumnya, sudah disepakati kedatangan orang Indonesia secara besar-besaran dimulai sesudah berakhirnya fase pertama periode UNTEA.
“Hal ini (kedatangan Kontindo) hanya akan mungkin apabila
Sekjen PBB di New York memberikan persetujuannya secara eksplisit. Ketika
meneliti arsip-arsip PBB, tidak ditemukan indikasi bahwa hal itu sudah
terjadi,” tulis Drooglever dalam Pilihan Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua
dan Penentuan Nasib Sendiri.
Suyatno Hadinoto dalam Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat
menyebut kedatangan Kontindo yang lebih cepat bertujuan menghadang terbentuknya
gerakan-gerakan separatis anti-Indonesia: Negara Papua yang telah dilengkapi
polisi Papua dan batalion Papua.
“Kontingen Indonesia yang terdiri dari Angkatan Bersenjata
Indonesia yang telah hadir sebenarnya bertugas untuk menggagalkan semua itu,”
tulis Suyatno.
Masyarakat Papua terkena dampaknya. Para pegawai pamongpraja
Papua dikirim dan disekolahkan ke Jawa atau dikursuskan ke Jayapura. Mereka
ditatar tentang ketatanegaraan Indonesia. Pendatang-pendatang dari Indonesia
mulai mendominasi, sementara rakyat lokal tersubordinasi. Sedangkan orang-orang
Belanda yang masih tersisa dipaksa angkat kaki. Jika ada penduduk pribumi yang
memprotes maka akan langsung dituduh separatis, Keadaan demikian tentu
bertentangan dengan Pasal 22 Perjanjian New York yang menyangkut hak-hak
penduduk: “UNTEA dan Indonesia akan menjamin sepenuhnya hak-hak penduduk daerah
tersebut, termasuk hak-hak bebas bicara, bebas bergerak, dan hak berkumpul dan
bersidang.” Sampai sekarang, komitmen tersebut masih menjadi utang pemerintah
Indonesia yang belum dilunasi
Generasi muda Papua jangan sampai tidak tau apa yang terjadi
di masa lampau, seperti tanggal 15 Agustus masih banyak kaum pemuda di Papua
yang tidak tau bahwa telah terjadi peristiwa penting di masa lampau.
Perlu dijawab juga apakah New York Agreement ini menjadi
sumber kesejahteraan bagi orang asli Papua atau justru sebaliknya menjadi
bencana bagi rakyat dan tanah Papua dari awal hingga saat ini?
Seperti kalimat “Di atas batu ini, saya meletakkan peradaban orang Papua. Sekali pun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri,”tulis I.S. Kijne dalam batu peradaban di Teluk Wondama. Berarti bahwa nasib bangsa Papua harus ditentukan oleh Bangsa Papua Sendiri, bukan oleh Bangsa Lain.
hari ini di berbagai tempat dilaksanakan aksi memperingati 61 tahun Perjanjian New York di berbagai kota di Indonesia, namun sayang
beberapa massa dibubarkan dengan cara paksa dan kekerasan. dituduh makar!
Bagaimana menurut anda?
Selamat memperingati 61 Tahun New York Agreement/
Agustus BUKAN tanggal penting, 21 September 1962 adalah tanggal penting. Perjanjian New York tidak memiliki kekuatan, hanya meminta, meminta Majelis Umum PBB untuk mengesahkan tindakan PBB di Papua Barat; untuk mencaplok dan menunjuk Indonesia sebagai anggota PBB untuk mengelola Papua Barat. Itu adalah 21 September 1962 ketika resolusi Majelis Umum 1752 dibuat untuk aneksasi West New Guinea.
BalasHapus